Laporan Praktikum Genetika Tumbuhan
LAPORAN PRAKTIKUM
GENETIKA TUMBUHAN
ACARA IV
PERSILANGAN DIHIBRID
Semester :
Ganjil 2015
Oleh :
Rifa Azzahro
A1L014184/8
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
LABORATORIUM PEMULIAAN TANAMAN DAN BIOTEKNOLOGI
PURWOKERTO
2015
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persilangan dihibrid merupakan persilangan antaradua
individu dengan dua sifat beda. Persilangan ini seringkali dihubungkan dengan
Hukum Mendel II mengenai kombinasi antara dua gen yang terjadi secara bebas.
Menurut Mendel, apabila terdapat dua individu yang memiliki dua sifat beda dan
melakukan perkawinan, maka akan menghasilkan anakan dengan perbandingan 9 : 3:
3 : 1. Perbandingan ini akan muncul dari sepasang indukan yang memiliki sepasang
alel yang heterozigot.
Mendel menggambarkan sifat-sifat yang ada pada suatu
individu dengan menggunakan lambang berupa huruf abjad. Huruf kapital
menandakan sifat dominan, sedangkan huruf kecil menandakan sifat resesif.
Walaupun tidak dapat menjelaskan secara detail mengenai pengkodean maupun
karakteristik dari masing-masing gen, namun gagasan Mendel tersebut sangat
bermanfaat dalam mendalami sifat suatu individu. Suatu individu dapat dirunut
indukannya berdasarkan sifat yang tampak dengan menggunakan persamaan
abjad-abjad tersebut.
Berdasarkan persilangan tersebut, kita dapat
mengembangkan varietas unggul pada produk-produk pertanian. Sebab, dengan
persilangan dihibrida, akan memperkecil produk yang tidak diinginkan.
Sebaliknya, justru akan didapatkan produk yang memiliki kabaikan dari kedua indukannya.
Hal ini sangat menguntungkan bagi para pelaku yang bergerak dalam bidang
budidaya tanaman.
B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk membuktikan Hukum Mendel II
pada persilangan dihibrid
II.
TINJAUAN PUSTAKA
“Bila suatu tanaman hibrida yang memiliki beberapa
karakter disilangkan, maka turunan tersebut akan menghasilkan seri kombinasi
karakter yang berpasangan. Pada turunan berikutnya, masing-masing pasangan
karakter tersebut ternyata bermunculan secara bebas dari pasangan karakter
induknya,” (Dalil Mendel II). Dalil tersebut menjelaskan bahwa bila ada faktor
keturunan yang berbeda, maka faktor keturunan yang berbeda tersebut tidaklah
saling mempengaruhi. Masing-masing faktor keturunan itu mempunyai peluang matematika
yang tidak saling menentukan dalam pemunculan pewarisan sifatnya pada tanaman.
Istilah dihibrida menjelaskan adanya pewarisan faktor keturunan yang mempunyai
perbandingan jumlah individu 9:3:3:1 atau dengan variasi perbandingan angka itu
(Welsh, 1991).
Hukum Mendel II
disebut juga hukum asortasi. Mendel menggunakan kacang ercis untuk dihibrid,
yang pada bijinya terdapat dua sifat beda, yaitu soal bentuk dan warna biji.
Persilangan dihibrid yaitu persilangan dengan dua sifat beda sangat berhubungan
dengan hukum Mendel II yang berbunyi “independent assortment of genes”. Atau
pengelompokan gen secara bebas. Hukum ini berlaku ketika pembentukan gamet,
dimana gen sealel secara bebas pergi ke masing-masing kutub ketika meiosis. B untuk biji bulat, b untuk biji kisut, K
untuk warna kuning dan k untuk warna hijau. Jika tanaman ercis biji bulat
kuning homozygote (BBKK) disilangkan dengan biji kisut hijau (bbkk), maka semua
tanaman F1 berbiji bulat kuning. Apabila tanaman F1 ini dibiarkan menyerbuk
kembali, maka tanaman ini akan membentuk empat macam gamet baik jantan ataupun
betina masing-masing dengan kombinasi BK, Bk,Bk, bk. Akibatnya turunan F2
dihasilkan 16 kombinasi.yang terdiri dari empat macam fenotip, yaitu 9/16 bulat
kuning, 3/16 bulat hijau, 3/16 kisut kuning dan 1/16 kisut hijau. Dua diantara
fenotip itu serupa dengan induknya semula dan dua lainnya merupakan fariasi
baru (Gooddenough,1984).
Pada persilangan yang melibatkan dua pasang
gen yaitu A-a dengan B-b, terbentuk 4 macam gamet pada akhir fase meiosis.
Gamet-gamet tersebut yaitu gamet AB, Ab, aB, dan ab. Gamet AB dan ab disebut
memiliki kombinasi asli, atau umum disebut dengan kombinasi parental. Sedangkan
kedua gamet yang lainnya yaitu gamet Ab dan aB disebut memiliki kombinasi baru,
atau biasa disebut dengan rekombinan (Yatim, 2003).
Hasil persilangan dihibrid
merupakan hasil persilangan monohibrid I × hasil persilangan monohibrid II. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan menghitung hasil persilangan yang didapat.
Apabila diperhatikan dominansinya, maka terdapat 12 bagian dari total 16 bagian
yang memiliki sifat dominan, sedangkan sisanya yang berjumlah 4 bagian memiliki
sifat resesif. Hal tersebut menunjukkan perbandingan yang mendekati 3 : 1
(Suryo, 2010).
Pembuktian Hukum Mendel II sering dilakukan
menggunakan lalat Drosophilla
melanogaster. Drosophila memiliki ciri morfologi yang berbeda antara jantan
dengan betinanya. Drodophila jantan memiliki ukuran tubuh lebih kecil
dibandingkan yang betina. Drosophila jantan memiliki 3 ruas bagian abdomennya
dan bersisir kelamin.Sedangkan pada betinanya ukurannya relatif lebih besar
dengan 6 ruas pada bagian abdomen dan tidak memiliki sisir kelamin (Soemartono,
1979).
III.
METODE PRAKTIKUM
A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan meliputi : lalat Drosophila melanogaster
yang berjenis normal, white, dan ebony; media lalat; plastik bening;
chloroform; kapas dan lembar pengamatan. Sedangkan alat yang digunakan antara
lain : botol bening, lup, cawan petri dan alat tulis.
B. Prosedur Kerja
1. Lalat Drosophila yang masih hidup dipingsankan
dengan cara dibius menggunakan chloroform. Tahap pembiusan yaitu mula-mula
kapas dibasahi sedikit dengan chloroform, kemudian kapas tersebut diletakkan di
dalam wadah berisikan lalat selama beberapa menit.
2. Lalat yang sudah dibius, kemudian dikeluarkan
dan diamati morfologinya menggunakan lup.
3. Penampang lalat yang terlihat kemudian
digambar pada selembar kertas dan diidentifikasi ciri-cirinya.
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Morfologi Lalat Drosophila Normal
Uji X 2
|
Karakteristik
|
Jumlah
|
|||
B_T_
|
B_tt
|
bbT_
|
Bbtt
|
||
O
|
94
|
37
|
35
|
10
|
176
|
E
|
99
|
33
|
33
|
11
|
176
|
(│O - E│) 2
|
25
|
16
|
4
|
1
|
46
|
|
0,25
|
0,49
|
0,12
|
0,09
|
0,95
|
Kesimpulan :
X 2 tabel =
7,28 > X 2 hitung
= 0,95, maka percobaan sesuai dengan teori
Persilangan :
P1 :
Normal >< Eboni
BBTT bbtt
BB
: badan kecil bb: badan besar
TT
: tubuh kelabu tt : tubuh hitam
F1 :
BbTt
(Badan
kecil, tubuh kelabu )
P2 : BbTt >< BbTt
F2 :
Tabel Punet
|
BT
|
Bt
|
bT
|
bt
|
BT
|
BBTT
|
BBTt
|
BbTT
|
BbTt
|
Bt
|
BBTt
|
BBtt
|
BbTt
|
Bbtt
|
bT
|
BbTT
|
BbTt
|
bbTT
|
bbTt
|
Bt
|
BbTt
|
Bbtt
|
bbTt
|
Bbtt
|
Fenotip F2 :
kecil-kelabu : kecil-hitam : besar-kelabu : besar-hitam
B_T_ :
|
B_tt :
|
bbT_ :
|
bbtt
|
Genotip F2 :
Perbandingannya : 9 : 3 :
3 : 1
B. Pembahasan
Persilangan dihibrid merupakan persilangan antara dua
individu yang memiliki dua sifat beda. Persilangan ini kerap dikaitkan dengan
Hukum Mendel II mengenai kombinasi gen secara bebas. Seperti yang telah
dilaporkan oleh Suryo (2010), munculnya Hukum Mendel II juga pada mulanya
diawali dengan percobaan Mendel yang menyilangkan tanaman ercis berbiji bulat-berwarna
kuning (BBKK) dengan tanaman ercis berbiji keriput-berwarna hijau (bbkk). Hasil
akhirnya, tanaman tersebut memiliki keturunan dengan 4 variasi yang berbeda
dengan perbandingan 9:3:3:1.
Hasil percobaan Mendel tersebut membuktikan bahwasannya
gen-gen dari sepasang alel akan berpisah secara bebas ketika berlangsung
pembelahan reduksi (meiosis) pada waktu pembentukan gamet-gamet. Sehingga akan
menghasilkan gamet-gamet sebagai berikut : BK, Bk, bK, bk. Keempat gamet
tersebutlah yang kemudian berkombinasi secara bebas membentuk keempat varian
pada anakannya.
Maka dari itu, persilangan dihibrid umumnya mengikuti
aturan Hukum Mendel II yakni harus memiliki perbandingan 9:3:3:1. Apabila
anakan yang dihasilkan dari persilangan dihibrid tidak memiliki atau jauh dari
perbandingan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pada persilangan tersebut
terjadi penyimpangan. Penyimpangan pada Hukum Mendel II umumnya disebabkan
karena adanya ketidaksempurnaan pada gen induk.
Contoh persilangan dihibrid dapat dilihat pada tanaman jagung yang telah
disilangkan. Tanaman jagung memiliki komposisi genetik yang
sangat dinamis dengan cara penyerbukan yang menyilang. Fiksasi gen - gen unggul
pada genotipe homozigot justru akan berakibat depresi dan menghasilkan tanaman
kerdil yang berdaya hasil renda. Tanaman yang vigor, tumbuh cepat, subur, dan
hasilnya tinggi justru didapat dari tanaman dengan komposisi genetik
heterozigot.Varietas jagung hibrida telah banyak dikomersilkan di Indonesia,
contohnya varietas yang dilepas PT BISI yaitu varietas C-1 yang merupakan
hibrida dari populasi bersari bebas dengan silang tunggal dari Cargill. Contoh
lain yaitu varietas IPB - 4 yang merupakan hasil persilangan tanaman jagung
yang memiliki waktu hidup tidak terlalu lama tetapi toleran terhadap serangan
hama utama (Takdir et al, 2012).
Persilangan dari varietas IPB – 4 yaitu demikian :
P1 : AAbb >< aaBB
AA : waktu hidup
sebentar aa : waktu hidup
lama
bb : tidak toleran terhadap hama BB : toleran terhadap hama
F1 : AaBb
(Waktu hidup
sebentar, toleran terhadap hama)
F2 : Tabel Punnet
|
AB
|
Ab
|
aB
|
ab
|
AB
|
AABB
|
AABb
|
AaBB
|
AaBb
|
Ab
|
AABb
|
AAbb
|
AaBb
|
Aabb
|
aB
|
AaBB
|
AaBb
|
aaBB
|
aaBb
|
ab
|
AaBb
|
Aabb
|
aaBb
|
aabb
|
Perbandingan : 9: 3: 3:1
Genotip : A_B_ : A_bb : aaB_
: aabb
Fenotip : waktu hidup
sebentar, toleran : waktu hidup sebentar, tidak toleran : waktu hidup lama,
toleran : waktu hidup lama, tidak toleran
Persilangan dihibrid ini kemudian dikembangkan dalam
bidang pertanian, khususnya pada aspek pemuliaan tanaman. Adanya persilangan
tersebut dapat menguntungkan bagi para petani maupun pemulia untuk mendapatkan
produk tanaman yang baik. Seperti halnya, apabila ditemukan tanaman yang
berasal dari dua varietas berbeda, sedangkan pada masing-masing varietas
memiliki kelebihan dan kekuranagn, maka petani dan pemulia dapat menyilangkan
keduanya melalui persilangan dihibrid. Dengan begitu akan dihasilkan anakan
yang memiliki kelebihan dari kedua induknya. Selain itu, apabila anakan yang
dihasilkan sesuai dengan perbandinagn pada Hukum Mendel II, maka akan
memperkecil hasil tanaman yang memiliki sifat yang tidak diinginkan (resesif).
Hal tersebut secara tidak langsung meningkatkan produksi pada tanaman budidaya.
Drosophila melanogaster memiliki
ciri-ciri umum antara lain mata yang berwarna merah, tepi sayap yang teratur
disertai dengan pola sayap yang seragam, bristle yang agak panjang dan halus,
serta warna tubuh cokelat kekuning-kuningan (Stine, 1993). Bristle
adalah modifikasi dari rambut Drosophila melanogaster yang pendek dan
dilengkapi oleh sensor dan perangkap mangsa. Selain itu,
dikenal pula istilah halter pada Drosophila melanogaster. Halter merupakan sayap belakang yang menyusut
menjadi struktur seperti kenop dan berfungsi sebagai alat keseimbangan (Borror, 1998).
Mutasi pada Drosophila
melanogaster dapat terjadi pada warna mata, bentuk sayap dan warna tubuh.
1. Mutasi pada
sayap dapat dibedakan menjadi :
a.
Mutan curly (cy). Mutasi terjadi akibat
inversi. Sayap pada mutan curly
melengkung ke atas dalam keadaan homozigot letal.
b.
Mutan miniature (m). Mutasi yang terjadi akibat
kerusakan pada kromosom pertama, lokus 36,1. panjang sayap hanya sepanjang
tubuh.
c.
Mutan vestigial (vg). Sayap dan halter
tereduksi yang terjadi akibat kerusakan pada gen vestigial yang terletak pada
kromosom kedua, lokus 67,0.
d.
Mutan dumpy
(dp). Sayap 2/3 panjang tubuh akibat kerusakan pada kromosom kedua, lokus 13,1.
2. Mutasi pada
warna mata dapat dibedakan menjadi :
a.
Mutan sepia (se). warna mata cokelat sampai
hitam akiat kerusakan gen pada kromosom ketiga, lokus 26,0 (Russell, 1994).
b.
Mutan cinnabar (cn). Warna mata merah, ocelli
putih akibat kerusakan gen pada lokus kedua, lokus 57,5 (Russell, 1994).
c.
Mutan white apricot (wa). Warna mata merah muda
akibat kerusakan pada
gen pink yang terletak pada kromosom ketiga (Klug & Cummings, 1994).
d.
Mutan Star (S). kerusakan gen yang terjadi pada
kromosom kedua, lokus 1,3 menyebabkan mata kasar dan kecil dalam keadaan
homozigot letal (Russell, 1994).
e.
Mutan white (w). Mata berwarna putih yang
terjadi akibat adanya kerusakan pada gen white yang terletak pada kromosom
pertama, lokus 1,5.
3. Mutasi pada
warna tubuh dapat dibedakan menjadi :
a.
Mutan yellow (y). Seluruh tubuhnya berwarna
kuning akibat kerusakan pada
gen yellow yang terletak pada kromosom pertama.
b.
Mutan ebony (e). Seluruh tubuh berwarna cokelat
karena kerusakan pada kromosom ketiga, lokus 64,0.
c.
Mutan black (b). Seluruh tubuhnya berwarna
hitam akibat terjadinya kerusakan pada gen black yang terletak pada kromosom
kedua, lokus 48,0.
Drosophila
melanogaster normal (wild type) dinyatakan dengan simbol +
atau dengan notasi huruf. Huruf kapital digunakan untuk sifat dominan dan huruf
kecil untuk sifat resesif terhadap mutan-mutannya. Mutan-mutan diberi notasi
sesuai dengan sifat mutasinya, yaitu dengan memberikan satu atau dua huruf
pertama yang mendeskripsikan sifat mutasi tersebut. Sebagai contoh, vg untuk
mutan vestigial dan w untuk mutan white (Jones & Rickrads, 1991). Lalat
mutan yang memiliki perbedaan lebih dari satu dibandingkan dengan lalat normal,
maka notasi harus dituliskan seluruhnya secara berurutan.
Contoh: w+w+dp+y+y+
ww dp
dp y+y+
Praktikum ini bertujuan
untuk membuktikan perbandingan pada Hukum Mendel II mengenai persilangan
dihibrid. Bahan yang digunakan yakni lalat Drosophila. Hewan ini dipilih karena
karakternya yang unik yaitu memiliki banyak mutan. Selain itu, siklus hidup lalat
ini tergolong sebentar. Persilangan dilakukan antara dua jenis lalat yang
berbeda. Maka dari itu, mula-mula praktikan harus mengamati morfologi pada
masing-masing lalat baik yang normal maupun yang mutan. Ada tiga jenis lalat
yang diamati, yakni normal, white dan ebony. Lalat normal jantan memiliki
karakteristik warna mata merah, terdapat segmen garis hitam yang pekat yang
lebar pada bagian abdomen posteriornya, serta ujung abdomennya tidak berbentuk
lancip. Sedangkan yang betinanya bermata merah, ujung abdomennya berbentuk
lancip dan tidak ada penghitaman pada abdomen posteriornya. Morfologi pada
lalat white jantan memiliki karakteristik mata berwarna putih, ujung abdomennya
berbentuk tumpul dan ada garis hitam tebal pada bagian tersebut. sedangkan pada
lalat white betina memiliki karakteristik mata berwarna putih, ujung abdomen
berbentuk lancip dan tidak ada penghitaman pada bagian tersebut. Kemudian pada
lalat ebony jantan memiliki karakteristik mata berwarna merah, tubuh berwarna
hcoklat kehitaman dan tubuhnya lebih kecil dari yang betina. Sedangkan pada
lalat ebony betina terdapat karakteristik mata berwarna merah, tubuh berwarna
coklat kehitaman dan ukurannya lebih besar daripada lalat jantan.
Selain mengamati morfologi
lalat, pada praktikum kali ini dilakukan simulasi persilangan antara lalat
normal (BBTT) dengan lalat eboni (bbtt). Lalat normal memiliki karakteristik
fenotip berbadan kecil-tubuh kelabu. Sedangkan lalat eboni memiliki
karakteristik fenotip berbadan besar-tubuh hitam. Pada keturunan F1 nya semua
anakan menampakkan karakteristik fenotip badan kecil-tubuh kelabu. Kemudian
hasil F1 tersebut disilangkan sesamanya sehingga menghasilkan data sebagai
berikut : B_T_ = 94; B_tt = 37; bbT_ = 35; bbtt = 10. Dari hasil perhitungan
menggunakan uji Chi-Squre didapatkan hasil X hitung sebesar = 0,95.
Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan X tabelnya = 7,28. Hal ini
menandakan data yang ada telah sesuai dengan perbandingan pada Hukum Mendel dua
yaitu 9:3:3:1.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Persilangan dihibrid merupakan persilangan
antara dua individu dengan dua sifat beda.
2. Persilangan dihibrid dapat digunakan untuk
menguji Hukum Mendel II tentang kombinasi gen secara bebas. Hasil dari
persilangan dihibrid sesuai dengan perbandingan Hukum Mendel yaitu 9:3:3:1.
B. Saran
Sebaiknya dalam melakukan praktikum ini, praktikan dapat
mengamati morfologi lalat secara lebih teliti sehingga didapatkan perbedaan
antara lalat normal dengan lalat yang mutan.
DAFTAR PUSTAKA
Borror, D. J., Charles A.
Tripelhorn, dan Norman F.
Johnson. 1998. Pengenalan Pelajaran Serangga. 8th Ed. Terj dari an Introduction to Study of Insect oleh Soetiyono Partosoedjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Goodenough. 1984. Genetika Edisi ketiga Jilid Satu. Jakarta : Erlangga.
Jones, R. N. & Rickards, G. K. 1991. Practical Genetics. England: Open
University Press.
Klug,
W.S. & M.R. Cummings. 1994. Concepts
of Genetics. 4th ed. Engelwood Cliffs: Prentice Hall Inc.
Russell,
P. J. 1994. Fundamental of Genetics. USA: Harper Collins College Publisher.
Soemartono. 1979. Pedoman
Praktikum Biologi Umum 3. Jakarta : Djambatan.
Stine,
G. James. 1993. Laboratory Exercise in Genetic. New York
: Mac Milan
Publishing co.,Inc.
Suryo, H. 2010. Genetika. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Takdir, Andi, et
al. 2012. Pembentukan Varietas Jagung
Hibrida (online). Balitsereal.litbang.pertanian.go.id diakses 15
Oktober 2015.
Welsh, J. R. 1991. Dasar-Dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman.
Jakarta : Erlangga.
Yatim, Wildan. 2003. Genetika. Bandung : Tarsito.
Komentar
Posting Komentar