LAPRAK BTLM PENGAPURAN TANAH MARGINAL
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umumnya, daerah-daerah di
Indonesia di dominasi dengan tanah Ultisol (Podsolik Merah Kuning). Tanah
Podsolik Merah Kuning atau PMK ini bersifat masam dan tergolong ke dalam lahan
marginal. Seperti yang telah diketahui bersama bahwasannya tanah pada lahan marginal
tidak mampu mendukung usaha budidaya tanaman dengan baik. Maka dari itu, perlu
dilakukan perbaikan sifat tanah terlebih dahulu sebelum melakukan budidaya tanaman
di lahan marginal.
Kendala yang biasanya dijumpai pada
budidaya tanaman di tanah PMK yaitu keracunan ion-ion tertentu seperti Al dan
Fe serta tidak tersedianya unsur hara P bagi tanah. Keadaan tersebut dipicu karena
rendahnya pH sehingga tanah bersifat masam. Saat keadaan lingkungan menjadi tidak
seimbang, maka komponen-komponen lain yang berada di tanah juga akan berubah
menjadi tidak seimbang seperti halnya ketersediaan unsur hara. Kekurangan unsur
hara pada tanaman akan menghambat proses metabolisme di dalam tubuh tanaman solehingga
akan mempengaruhi pada hasil produksi tanaman.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi kendala pada tanah PMK yang bersifat masam yaitu dengan cara
pengapuran. Kegiatan pengapuran bertujuan untuk menaikkan pH tanah. Pengapuran
dilakukan menggunakan kapur pertanian berupa kalsit, dolomit, kapur tembok, kapur
tohor dan lain-lain. Penyusun bahan-bahan kapur tersebut umumnya berupa Ca dan
Mg. kedua unsur tersebut selain merupakan unsur hara esensial primer yang sangat
dibutuhkan juga dapat menaikkan pH tanah.
B. Tujuan
1.
Mempelajari cara pemberian kapur pada tanah marginal asam.
2. Mengetahui pengaruh pemberian kapur
pada tanah masam terhadap pertumbuhan tanaman
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanah Podsolik Merah Kuning
Sistem klasifikasi tanah USDA secara umum menggolongkan tanah Podsolik
Merah Kuning (PMK) dalam ordo Ultisol. PMK merupakan bagian
dari tanah Ultisol yang terbentuk karena curah hujan tinggi dan suhu rendah. Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua dan
banyak ditemukan di daerah dengan bahan induk batuan liat (Hardjowigeno, 2007).
Tanah PMK adalah tanah
yang mempunyai perkembangan
profil, konsistensi teguh, bereaksi masam,
dengan tingkat kejenuhan
basa rendah. Podsolik merupakan
segolongan tanah yang
mengalami perkembangn profil dengan
batas horizon yang
jelas, berwarna merah
hingga kuning dengan kedalaman satu
hingga dua meter.
Tanah ini memiliki
konsistensi yang teguh sampai
gembur (makin ke bawah makin
teguh), permeabilitas lambat sampai sedang,
struktur gumpal pada
horizon B (makin
kebawah makin pejal),
tekstur beragam dan agregat berselaput liat. Di samping itu sering
dijumpai konkresi besi dan kerikil kuarsa (Indrihastuti,
2004).
Lebih
jelasnya Ramadhani et al. (2015) menjelaskan
bahwa kendala yang sering dihadapi pada tanah mineral PMK yaitu: pertama, pH tanah
yang rendah, kelarutan Al, Fe, dan Mn yang tinggi, ketersediaan P dan Mo yang
rendah. Kedua, ketersediaan kation-kation basa dan kejenuhan basa yang rendah
mengakibatkan tanah bersifat masam dan miskin hara. Ketiga, dominasi mineral liat
kaolinit dan oksida-oksida besi dan aluminium yang menyebabkan tanah ini
memiliki kapasitas tukar kation yang rendah. Keempat, tingginya kandungan mineral-mineral
dan apabila terlarut menyebabkan kejenuhan kation akan bersifat toksik bagi tanaman,
serta anion-anion akan mudah terfiksasi menjadi tidak tersedia bagi tanaman.
B. Kapur Kalsit
Kalsit merupakan batu kapur karbonat
yang tidak atau sedikit mengandung mengandung Mg (magnesium).
Batu kapur ini merupakan CaCO3 kristalin (murni). Namun, perlu juga
diketahui bahwa magnesium dalam batuan kapur bervariasi sampai sekitar 13% Mg atau
21% MgO. Apabila jumlah molekuler antara CaCO3 sama dengan MgCO3
(ekuimolekuler) disebut dolomit (>13% Mg), sedangkan apabila terdapat dalam
perbandingan yang lain disebut dolomitik. Begitu juga dengan kalsit, bila tidak
dalam bentuk kristalin maka biasa disebut dengan nama kalsitik (Harjanti,
2009).
Masih menurut Harjanti (2009) kapur
pertanian umumnya kalsitik. Kalsit memiliki sifat fisik berat jenis 2,71 dengan
kekerasan 3,00 dalam skala Mohs, bentuk prismatik, tabular, bersifat pejal dan
berbutir halus sampai kasar. Warna kalsit yang tidak murni adalah kuning, coklat,
pink, biru, lavender, hijau pucat, abu-abu, dan hitam. Kalsit (CaCO3)
umumnya ditemukan dengan pengotor seperti Fe, Mg, Mn dan terkadang Zn dan Co.
Bentuk kalsit sangat bervariasi, yang paling umum adalah kristal rhombohedral dan
scalenohedral. Kalsit memiliki sifat tembus transparan dan tembus cahaya serta
memiliki ketahanan yang rapuh. Kalsit lebih mudah bereaksi (berbuih) dalam larutan
HCl serta dalam kebanyakan asam-asam lainnya
Menurut Lumbanraja dan Tampubolon
(2013) selain meningkatkan kejenuhan basa tanah, kalsit juga dapat meningkatkan
pH tanah, serta meningkatkan ketersediaan nutrien Ca bagi tanaman. Kapur pertanian tanpa Mg (kalsit) biasanya digunakan hanya
untuk meningkatkan reaksi tanah dari sangat masam menjadi agak masam. Hal ini
dilakukan agar pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.
C. Kapur Dolomit
Kapur dolomit memiliki sifat fisik berwarna putih keabuabuan
atau kebiru-biruan dengan kekerasan dolomit berkisar antara 3,50 – 4,00 dalam
skala Mohs. Dolomit memiliki berat jenis antara 2,80 – 3,00. Selain itu dolomit
bersifat pejal dan berbutir halus hingga kasar. Dolomit memiliki jumlah Ca dan
Mg yang relatif seimbang, tetapi kadang kala ada satu elemen yang lebih besar
persentasenya dari pada yang lain. Besi dan mangan terkadang ditemukan dalam
jumlah kecil. Bentuk dolomit yang paling umum dalam grup kecil ialah kristal
rhombohedral dengan lengkungan, nampak seperti pelana. Dolomit memiliki sifat
tembus transparan dan tembus cahaya dalam pecahan yang tipis serta memiliki ketahanan
yang rapuh. Dolomit lambat bereaksi dalam larutan HCl dan nitrit (Harjanti,
2009).
D. Pengapuran pada Tanah Masam
Pengapuran pada tanah masam dapat memperbaiki
sifat fisik, kimiawi dan biologi tanah. Perbaikan sifat fisik tanah berlangsung
cukup lama. Pengapuran berpengaruh bagi agregasi partikel tanah, juga pada aerasi
dan perkolasi, serta struktur tanah (Sutedjo dan Kartasapoetra, 2002).
Pemberian kapur dapat mempercepat proses dekomposisi melalui pengaktifan
mikroorganisme, serta mempercepat pelepasan unsur-unsur yang terkandung dalam tandan
kosong. Beberapa keuntungan yang dimiliki kapur yaitu: struktur tanahnya menjadi
baik dan kolehidupan mikroorganisme dalam tanah lebih giat, akibatnya daya melapuk
bahan organik menjadi humus lebih cepat, kelarutan zat-zat yang sifatnya meracuni
tanaman menjadi menurun dan unsur lain tidak banyak terbuang, ditempat yang
diberi kapur akan lebih leluasa ditanami berbagai jenis tanaman. Meningkatnya
kesuburan fisik dan kimia tanah yang tercipta melalui pengapuran dan penambahan
unsur hara yang cukup akan meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya akan
meningkatkan produksi tanaman yang dibudidayakan (Rahmawaty et al., 2012).
Jumlah kapur yang dibutuhkan untuk menaikan pH tanah, tergantung kepada
jenis dan derajat keasaman tanah itu sendiri.Waktu pengapuran adalah dua minggu
sebelum tanam (Wardie, 2015). Penggunaan kapur dalam
jangka panjang memiliki pengaruh yang kurang menguntungkan bagi keseimbangan hara
dalam tanah. Sebagai contoh, ketersediaan kalium sangat dipengaruhi ololeh nisbah
K/(Ca+Mg) dalam tanah. Penggunaan kapur juga akan mengurangi ketersediaan unsur
mikro, terutama bila diberikan dalam jumlah yang berlebih. Kapur juga menyebabkan
kadar bahan organik tanah merosot dengan cepat karena aktivitas mikroorganisme
perombak menjadi lebih aktif. Ololeh karenanya penggunaan kapur terus-menerus harus
dihindari untuk menjaga kualitas tanah tetap baik (Dariah et al., 2015).
III. METODE PRAKTIKUM
A.
Tempat
dan Waktu
Praktikum
ini dilakukan di screen
house Fakultas
Pertanian pada 6 Oktober
2016 sampai dengan 3 November 2016
B.
Bahan
dan Alat
Bahan
yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pasir, benih jagung, kapur kalsit, kapur
dolomit, pupuk NPK, air, polybag dan label. Alat yang digunakan dalam praktikum ini
yaitu timbangan, ember, gelas air mineral bekas 200 ml, timbangan analitik, Ph
meter, kamera dan alat tulis.
C.
Prosedur
Kerja
1.
Tanah PMK disiapkan dan
ditimbang seberat 5 kg
2.
Dosis perakuan pengapuran
yaitu =
Kalsit = Ks1 = 7,32
gram
Ks2 = 14,64 gram
Dolomit = D1 = 6,5 gram
D2 = 13 gram
Kontrol = 0 gram
3.
Perakuan dosis pengapuran disusun ke dalam rancangan
faktorial dengan 3 perakuan kalsit, dolomit dan kontrol dan diulang sebanyak 5 kali.
Jadi total ada 25 unit percobaan.
4.
Kapur diberikan sesuai dengan perakuan dosis dicampur
hingga merata dengan tanah PMK yang sudah disiapkan lalu diberi tabel pada setiap
polybag sesuai denah percobaan.
5.
Benih jagung ditanam pada masing-masing polybag
sebanyak 3 biji/polybag. Media tanam disiram air terebih dahulu hingga kapasitas
lapang sebelum ditanami benih.
6.
Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman sejumah
air 200 ml/polybag.
7.
Pengendalian DPT dilakukan secara insidental.
8.
Pengamatan terhadap variabel tinggi dan jumah daun
diamati setiap 1 minggu sekali.
9.
Variabel bobot basah tajuk, panjang akar dan bobot
akar diamati seteah 4 minggu.
D.
Rancangan Percobaan
Rancangan Acak Kelompok
1.
Perlakuan = Kalsit Ks1 = 7,32
gram
Ks2 = 14,64 gram
D2 = 13 gram
2.
Diulang sebanyak 5 kali
3.
Denah Percobaan
D1
|
K
|
D2
|
D2
|
Ks1
|
Ks2
|
K
|
Ks2
|
Ks1
|
D1
|
Ks1
|
D2
|
Ks2
|
D2
|
Ks2
|
D1
|
Ks1
|
K
|
D1
|
K
|
Ks2
|
D1
|
D2
|
K
|
Ks1
|
I
II
III
IV
V
IV. Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
Tabel 1. Hasill sidik ragam perlakuan
terhadap pertumbuhan tanaman jagung
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
No
|
Variabel
|
Hasill
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1
|
Tinggi tanaman
|
tn
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2
|
Jumlah daun
|
tn
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3
|
Bobot basah tajuk
|
n
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4
|
Panjang akar
|
tn
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
keterangan : sn= sangat nyata, n= nyata
dan tn= tidak nyata
Kesimpulan:
1. Perlakuan
kapur kalsit dan dolomit memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman
2. Perlakuan
kapur kalsit dan dolomit memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun
3. Perlakuan
kapur kalsit dan dolomit memberikan pengaruh nyata terhadap bobot basah bajuk
4. Perlakuan
kapur kalsit dan dolomit memberikan pengaruh tidak nyata terhadap panjang akar
Keterangan : Angka
yang diikuti huruf kecil (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata setelah diuji menggunakan DMRT (α= 0,05). TT=
Tinggi tanaman, JD= Jumlah daun, BOBOT= Bobot basah tajuk dan PA= Panjang akar.
|
Tabel 3. Pengamatan pH
Perlakuan
|
pH
|
Kontrol
|
3,5
|
Ks1
|
4,0
|
Ks2
|
4,1
|
D1
|
4,4
|
D2
|
4,4
|
Kesimpulan:
1.
Perlakuan kontrol pada
tanah PMK menghasillkan pH tanah akhir 3,5
2.
Penambahan kapur kalsit
50% (Ks1) pada tanah PMK menghasillkan pH tanah akhir 4,0
3.
Penambahan kapur kalsit
100% (Ks2) pada tanah PMK menghasillkan pH tanah akhir 4,1
4.
Penambahan kapur
dolomit 50% (D1) pada tanah PMK menghasillkan pH tanah akhir 4,4
5.
Penambahan kapur
dolomit 100% (D2) pada tanah PMK menghasillkan pH tanah akhir 4,4
B. Pembahasan
Berdasarkan data hasill analisis sidik
ragam, terlihat bahwa
perlakuan kapur kalsit dan dolomit tidak memberikan
pengaruh terhadap variabe pertumbuhan seperti tinggi tanaman jumah daun dan panjang
akar perakuan kapur kalsit dan dolomit hanya memberikan pengaruh terhadap variabe
bobot basah tajuk Hasill dari analisis ragam perlakuan kapur kalsit dan dolomit
untuk variabe bobot basah tajuk kemudian diuji lanjut menggunakan uji lanjut
DMRT untuk melihat pengaruh dosis pupuk yang memberikan pengaruh terbesar. Perlakuan kapur
kalsit dan dolomit untuk variabe bobot basah tajuk menunjukkan respn terbaik dan
input paing efektif pada perakuan tanpa pemberian kapur kalsit dan dolomit
M.
Gonggo, et al (2004) melakukan penelitian
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung pada lahan gambut dengan penerapan
teknologi tampurin. Lahan gambut merupakan salah satu contoh lahan masam. Teknologi
tampurin yaitu pemberian pupuk berupa campuran bahan pupuk dan ameiloran kecuali
urea (280 g) yaitu SP-36 (280 g), KCl (150 g), Dolomit (1400 g), Terusi (14 g),
Mamikr (14 g), Abu janjang kelapa sawit (350 g) dan kotoran sapi (140 g). Hasil
dari penelitian tersebut menyatakan bahwasannya pertumbuhan dan hasil tanaman jagung
pada lahan gambut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara tanaman yang
diberikan perlakuan tampurin dengan kontrol.
Sebelumnya,
Ardi (1988) juga menyatakan bahwasannya pengaruh pengapuran dan inkubasi terhadap
C, N, C/N, fosfat dan katoin basa dapat ditukar tidak nyata sehingga hasil yang
didapat dari perlakuan tampurin lengkap dan perlakuan lainnya juga kontrol
berbeda tidak nyata. Bahkan berdasarkan data pengamatan peubah pertumbuhan dan hasil
tanaman jagung yang dikumpulkan nilai rata-rata perlakuan cenderung kecil jika
dibandingkan perlakuan lainnya termasuk juga dengan kontrol.
Perlakuan kapur
kalsit dan dolomit tidak memberikan pengaruh terhadap variabel tinggi tanaman,
jumah daun dan panjang akar sehingga tidak dilakukan uji lanjut pada ketiga variabel
tersebut. Akan tetapi, variabel tinggi tanaman dan jumlah daun memiliki respon
paling baik pada perlakuan tanpa pemberian kapur kalsit dan dolomit. Sedangkan
variabel panjang akar menunjukkan respon terbaik pada perlakuan pemberian kapur
kalsit 14,64 gram (100%).
Kemasaman
tanah PMK pada saat praktikum diukur menggunakan pH meter. Hasil dari pengukuran
tersebut didapatkan data pH tanah pada perlakuan kontrol sebesar 3,5. Pemberian
kapur kalsit sebanyak 7,32 gram menaikkan
pH tanah menjadi 4. Penambahan kapur kalsit sebanyak 14,64 gram
juga menaikkan pH tanah menjadi 4,1. Sedangkan pada perakuan kapur dolomit
pemberian kapur dolomit sebanyak 6,5 gram menaikkan
pH tanah menjadi 4,4. Begitu pula pada penambahan kapur dolomit sebanyak 13 gram
menaikkan pH tanah menjadi 4,4.
Menurut Emedinta
(2004), pertumbuhan tanaman jagung manis
optimal pada tanah lempung berdebu dan derajat
kemasaman 5,0–7,0 serta bebas dari genangan air. Jagung merupakan tanaman
C4 yang memiliki
daya adaptasi pada faktor-faktor
pembatas pertumbuhan seperti
intensitas radiasi surya
tinggi, suhu siang
dan malam yang tinggi, curah hujan rendah serta kesuburan tanah yang
rendah karena faktr kekeringan maupun ahan yang masam
Berdasarkan data
yang telah terkumpul dari hasil pengamatan selama 4 MST maka dapat diketahui bahwa
penambahan bahan kapur pada tanah PMK tidak menaikkan pH secara signifikan.
Pertumbuhan tanaman terbaik ditunjukkan justru pada perlakuan kontrol. Hal ini
dikarenakan tanaman jagung dapat beradaptasi secara luas sehingga tetap dapat
tumbuh dengan baik di lingkungan yang masam.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1.
Cara pemberian kapur pada tanah masam yaitu dengan
mencampur bahan kapur dengan tanah PMK secara rata sebelum melakukan penanaman.
2.
Pemberian kapur pada tanah masam berupa tanah
PMK memberikan pengaruh terhadap variabel bobot basah tajuk namun tidak berpengaruh
terhadap variabel tinggi tanaman, jumah daun dan panjang akar.
B. Saran
Sebaiknya pada saat
memberikan kapur dilakukan di luar polybag agar kapur tercampur secara merata.
Pada tanah, pengapuran juga sebaiknya dilakukan 2 minggu sebelum tanaman. Hal
ini ditujukan agar efek pengapuran terhadap peninggkatan pH tanah dapat terilhat
secara nyata serta memberikan lingkungan tumbuh yang baik bagi tanaman jagung. Lingkungan
yang optimal secara langsung akan mempengaruhi produksi tanaman jagung.
DAFTAR PUSTAKA
Ardi, D. S. 1988. Pengaruh Pengapuran dan Inkubasi terhadap
Sifat Kimia Tanah Gambut Dendang Tiga, Jambi. Pros Pertemuan Teknis Penelitian
Tanah, Cipayung. 189-199.
Dariah, Ai. et al.
2015. Pembenah Tanah untuk
Meningkatkan Produktivitas Lahan Pertanian. Jurnal
Sumberdaya Lahan. Vol. 9 (2) : 67-84.
Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademi Pessindo.
Jakarta.
Harjanti, R. S. 2009. Pengujian
Efektivitas Bahan Pembenah Tanah Dolomit untuk Tanah Masam. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lumbanraja, P dan B. Tampubolon. 2013. Pengaruh Aplikasi Kalsit
dan Pupuk Organik Hakoko terhadap Ca-dd, Al-dd dan Hasill Biji Kedelai (Glycine max (L) Merr.) pada Ultisol Simalingkar.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi. Vol.
6 (1) : 114-121.
M. Gonggo, Bambang, Purwanto, Biman W. Simanihuruk dan J.
Arto. Pertumbuhan dan Hasi Jagung pada Lahan Gambut dengan Penerapan Teknologi
Tampurin. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertannian
Indonesia. Vol. 6 : (1) 14-21.
Rahmawaty, et al.
2012. Pengaruh Pemberian Tandan Kosong
Sawit dan Kapur Dolomit Sebagai Campuran Media Tanam terhadap Pertumbuhan Bibit
Kelapa Sawit ( Elaeis quenensis Jacq. ) di Main Nursery. Jurnal Agrifarm. Vol. 1 (1) : 14-18.
Ramadhani, F. et al. 2015. Pemanfaatan Beberapa
Jenis dan Dosis Limbah Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq) terhadap Perubahan
pH, N, P, K Tanah Podsolik Merah Kuning (PMK). Jurnal Agroteknologi. Vol. 6 (1)
: 9-16.
Sutedjo, M. M. dan A.
G. Kartasapoetra. 2002. Pengantar Ilmu Tanah.
Rineka Cipta. Jakarta.
Wardie,
J. 2015. Analisis Pendapatan dan Kesejahteraan Petani Padi Lokal Lahan Padang
Surut di Kapuas. Agros. Vol. 17 (2) :
153-165.
Komentar
Posting Komentar